Dayu Rifanto, Pegiat Literasi Indonesia Bagian Timur, Papua

Indonesia merupakan negara yang memiliki luas daratan hingga 1,905 juta km2 dengan keberagaman suku budaya yang berbeda-beda dari Sabang hingga Merauke. Melihat perjalanan pendidikan di Indonesia bagian Timur, terdapat sekitar 800 ribu anak-anak putus sekolah dengan angka buta huruf yang cukup tinggi (PAUDNI).

Tidak dapat dipungkiri, bahwa pemerintah berperan penting dalam mengatasi permasalahan tersebut. Namun, partisipasi masyarakat juga tidak kalah pentingnya dalam proses peningkatan mutu pendidikan khususnya literasi. Hal ini tercermin dari kisah Dayu Rifanto seorang pegiat literasi untuk Kota Sorong, Papua Barat.

Dayu memulai menjadi pegiat literasi dengan mendaftarkan diri pada program dari Putera Sampoerna Foundation (PSF) yaitu Ekosistem Sekolah Literat (ESL). Dayu mengikuti berbagai pelatihan seperti pelatihan literasi baca dan teknik membaca, mengelola kelas daring efektif, dan coaching -mentoring dan impact tracking yang tentunya didampingi oleh fasilitator-fasilitator PSF.

Setelah Dayu mengikuti seluruh pelatihan ini, Ia diwajibkan untuk mendiseminasikan ilmu yang Ia dapat pada masyarakat sekitarnya. Selama kurun waktu 6 bulan, pegiat literasi ini telah melaksanakan diseminasi sebanyak 4 kali. Pertama Ia lakukan diseminasi secara langsung, dan 3 kali Ia lakukan secara daring.

Pengalaman pertamanya memang tidak semulus yang diharapkan, pasalnya peserta diseminasi masih sangat sedikit. “Hal ini sangat membuat saya khawatir, apakah ada akan ada guru yang masih ingin belajar atau tidak. Karena jika saya lihat di daerah Pulau Jawa peserta diseminasi bisa sampai ratusan” ungkapnya.

Mengingat jika saat ini masih dalam pandemi Covid-19, Dayu akhirnya memutuskan untuk melanjutkan diseminasi secara daring. Dayu mulai merancang segala persiapan mulai dari materi yang akan disampaikan, mengundang peserta, dan mempersiapkan ruangan virtualnya.

“Semua persiapan ini saya lakukan sendiri, mulai dari persiapan materi, mengundang peserta, membagikan link, hingga mengajar peserta diseminasi” ujar Dayu.

Terdapat kekhawatiran dalam menjalankan diseminasi secara daring, tentang letak geografis kota Sorong yang berada di bagian Timur Indonesia yang kemungkinan kendala sinyal tidak dapat terhindarkan. Dayu tetap semangat dan optimis untuk menjalankan deseminasi secara daring. Tidak disangka, dengan kendala sinyal yang dihadapi, peserta diseminasi Dayu bertambah dan hal ini berlanjut hingga diseminasi keempatnya.

“Saya tidak mau menyerah, demi memperbaiki performa saya, saya juga meminta feedback dari peserta diseminasi saya, maupun dari pihak PSF sebagai evaluasi saya. Karena saya masih ingin melanjutkan diseminasi ini mungkin dalam waktu sebulan sekali atau dua bulan sekali” ucap Dayu.

Selain melakukan diseminasi, kecintaannya terhadap dunia literasi juga menggiring Dayu menulis beberapa buku seputar literasi. Dayu berharap jika orang-orang yang memiliki niat dan ingin belajar di Sorong bisa meningkat sehingga kata ‘literasi’ bukan hanya sekedar pemanis, namun memang menjadi budaya di Sorong, Papua Barat. (ZNP)

Bagikan ke:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *